Dua tahun setelah akhirnya aku lalui
dengan penuh lika-liku remajaku. Ku selesaikan apa yang akhirnya menjadi
belenggu, ku gariskan apa yang akhirnya menjadi titik temu, dan ku simpan apa
yang akhirnya menjadi sebuah tanya. Jika kau mengerti saat itu, aku berada pada
dusta yang bahkan orang percaya. Tak bisa ku tutupi lagi bahwa akhirnya ikhlasku
kemarin hanyalah belaka. Di hari saat aku memperingati kelahiranku yang
akhirnya beranjak 17, deringmu menjadi alarm yang bahkan tak pernah ku atur.
Katamu saat itu dalam sebuah pesan singkat “Hai selamat ulang tahun, semoga
panjang umur dan sehat selalu. Jika pesan ini sampai padamu, tolong balas.”
Hanya ucapan klise, sebuah basa-basi, dan hari itu aku seperti menemukan lagi
napas yang tercekat.
Aku
yang saat itu menjelma bagaikan kupu-kupu tak bergairah akhirnya kembali
mengepakkan sayapnya. Tak ada lagi dusta yang ku sembunyikan. Aku senang,
teramat senang. Pesan singkat darimu bisa-bisanya mematahkan gembok besi yang
ku kunci. Kata orang aku menjilat ludahku sendiri. Ya, harap itu ternyata masih
ada dalam hatiku. Bodoh jika itu terjadi sekarang. Khalif, mau berapa banyak
part yang ku masukkan dalam cerita hidupku? ratusan? tidak. Tunggu, bahkan part
ini pun belum ku selesaikan dalam satu halaman.
Datang
dan pergi layaknya kabut pagi. Singkat dan membawa dingin. Ku katakan itu
sekarang, saat ini, saat aku sudah mengerti semuanya. Setelah perjalanan penuh
harap dan aku terjebak pada nestapa. Cukup. Biar semua orang tahu bagaimana
akhirnya kau mengetuk pintuku lagi dan aku menyambutmu dengan hangat,
memperisilakan kamu bertamu bahkan jika ingin menetap. Rasanya kasmaran,
berkali-kali dikatakan dalam banyak cerita. Kenapa dengan aku ini? bodoh sekali
dengan mudahnya kasamaran. Ya bagaimanapun saat itu suasananya memang kelu. Aku
terlanjur lelah dan memerdekakan diri untuk tetap pada kakiku sendiri, berlari
mengejar mimpi membalaskan dendam dengan beruji nyali. Lucu memang pada
ujungnya aku menerima mu kembali.
Sebenarnya
aku lagi-lagi terjebak pada dua pilihan yang sebenarnya mudah saja. Namun,
lagi-lagi aku bingung karena terhasut pada perbincangan belenggu. Dua pilihan
yang mudah saja masih ku tanyakan pada kawanku. Aku ini labil, pandai sekali
kalian memanfaatkan celah ini untuk menjebakku. Siapa pilihan itu? bukan ini
bukan sang darat ku kemarin, Ia manusia lain yang menjadi bagian cerita
remajaku. Aku berumur 18 saat ia menyatakan keseriusannya. Ia bercerita padaku
bahwa sebenarnya yang dikaguminya adalah aku sejak awal. Halah buaya darat!
Padahal kau sempat berganti-ganti perempuan saat masa-masa itu berjalan. Pembelaanmu
hanyalah kedok untuk menutupi sifatmu. Dibilangnya bahwa aku tidak pernah
meliriknya, padahal kau sendiri tidak pernah katakan. Saat masa-masa aku sudah
pada ketetapan hatiku, ia baru katakan dengan dalih saat ini kita hanya teman
dan akan terus menjadi teman. Sialan! Pada seterusnya ia malah benar-benar
menyatakan padaku, meminta separuh hatiku untuknya.
Aku
sangat kesal, kenapa aku selalu dibawa pada suasana aku harus memilih?
Sementara yang lain hanya menunggu jawabanku, bergantung pada apa yang aku
ucapkan, menyerahkan semuanya pada pilihanku. Kenapa aku harus memilih? Meski
pada akhirnya sudah jelas pilihanku jatuh pada yang lebih ku mau. Aku tidak
denial, aku memang ingin itu sejak awal. Iya seperti yang aku katakan bahwa aku
menyambutnya kembali bahkan jika ingin menetap. Ku jatuhkan pilihanku padanya.
Khalif.
Ku
rangkaikan masa-masa saat ia kembali padaku. Sebulan pertama ia katakan bahwa
ia butuh teman. Menceritakan hari-harinya hingga pada jatuh hati. Perjalanan
yang menurutku saat itu meman manis,
semanis gula-gula, memberikan banyak energi, dan melepaskan hormon serotonin
serta meningkatkan hormon dopamine. Terbayang bagaimana suasana hati yang berkecamuk
bahagia itu. Khalif, kau mengatakan bahwa kau akan membawa janjimu hingga
akhir. Kau bahkan dengan terang benderang ingin menunjukkan pada dunia bahwa
aku milikmu. Semesta seolah harus setuju padamu, pada relungan asa mu tentang
ini. Keyakinanmu yang akhirnya menyeretku lebih dalam.
Tahun
pertama kita lalui dengan penuh cerita menjadi mahasiswa baru. Menahan rindu
karena segala kesibukkan dan terbatasnya waktu membuat kita seolah mati kutu.
Ku usahakan tetap ada dalam barisan, membiarkan waktu berjalan hingga pada hari
dimana kita dapat bertukar tatap dan berbincang bebas. Lucunya film yang ku
tonton bersamamu adalah sebuah perumpamaan yang salah bagiku. Ku pikir kau bisa
menjadi pemeran utama ku seperti yang diceritakan dalam film itu. Namun,
lagi-lagi semua terpikir karena dalam belenggu kasamaran. Menjebak pada
halusinasi bahwa kenyataan akan terus sama, berjalan indah di antara bunga
bermekaran, dan menyambut hangat sinar mentari. Padahal yang terjadi akan lebih
sebaliknya daripada itu, pedih.
Ku lalui
hari-hariku bersamamu, penuh rasa yakin dan terus yakin. Hingga perasaan ku
menyerangku sendirian. Kau tiba-tiba saja berubah, seperti apa yang ku
takutkan. Membuat ku semakin berperang dengan genggamanku sendiri, berusaha
menepis bahwa semua tidak menjadi hancur, berusaha menepis perasaan buruk yang
sebenarnya sudah terjadi. Aku kembali pada denialku, pada hati yang tidak bisa
menerima kenyataan. Apa yang sebenaranya kau cari? Sebuah solusi atau hanya
pembelaan diri yang tak masuk akal? Ku tanyakan bagaimana dengan janji-janjimu
yang telah kau buat itu? Jawabmu sungguh menyebalkan, kau anggap itu tak pernah
terjadi lagi. Kejam.
Cukup.
Sudah cukup dua kali dalam hal ini kau campakkan perasaan yang sudah ku bentuk
dengan sepenuh jiwa. Kau bawa ia berhamburan pada bayang yang bahkan tak
terlihat lagi. Kau hempaskan pada sungai yang arusnya deras membiarkannya
hanyut dan tak tergapai. Tak bisa ku tahan bagaimanapun ku mau. Ku biarkan kau
pergi sesuka langkahmu, ku biarkan kau berlari sesuka rasamu, ku biarkan kau
bebas sesuka ragamu, ku biarkan kau terbang sesuka sayapmu, dan ku biarkan kau menjelma
kembali sebagai udara yang hampa dan tak terlihat olehku.
Terima
kasih karena sudah sempat kembali singgah meski akhirnya kau pergi lagi. Terima
kasih sudah menjadikan ku pilihan mu meski hanya sebagai pelipur laramu. Terima
kasih karena berkatmu aku menjadi mengerti bahwa sesal tiada guna dan ikhlas
memang harus ditanamkan lebih dalam. Tiada lagi ku sambut salammu. Maaf aku
harus membiarkan mu pada jalanmu bukan untuk berbalik menemuiku lagi dan
merangkai cerita baru. Kelak kau akan mengerti mengapa nantinya aku membuat
part berikutnya setelah ini. Ku rasa cukup untuk sebuah persinggahan ini. Naif.
30 Juni 2024
Komentar
Posting Komentar