cerpen : perempuan lupa waktu
Perempuan
Lupa Waktu
Wanita itu
berjalan menghampiriku, menyapa dan menanyakan kabarku. Aku sedikit heran dan
terkejut. Ya! Aku ingat. Seketika langsung ku ingat. Ia adalah kawan lamaku.
Aku mulai berjalan dengan pertemuan ini. Pertemuan yang tak di rencanakan dan
sudah lama dinanti. Ia datang dengan senyumnya yang ceria bak anak kecil yang
mendapatkan kembang gula.
Ia masih sama seperti dulu. Matanya
yang tajam nan imut, bibirnya yang selalu bercerita tentang apa saja. Kini ia berdiri
di hadapanku. Aku ramal, kami akan berbincang lama. Aku mengajaknya duduk di
bangku pinggir jalan. Kami berbincang. Ngalor-ngidul.
Dulu aku menyebutnya si koi. Iya! ikan
hias yang mengisi aquarium rumahku. Ikan berbadan gendut dan berbibir bulat yang
menggemaskan. Tidak! Dia tidak seperti ikan koi yang gendut itu. Maksudku ia
memang menggemaskan. Wanita yang ceria dan bibirnya yang senang bergerak
buka-tutup seperti ikan koi. Hahahaha aku tak bermaksud meledeknya. Bibirnya itu selalu bicara maksudnya. Aku tak
senang bila bibirnya terkatup, diam seperti patung dan bisu seperti benar-benar
tak bisa bicara. Aku senang mendengarkan cerita-ceritanya.
Wanita tangguh yang manja. Tapi, hanya
saat ia benar-benar sedang tak bisa mengendalikan suasana hatinya. Wanita
garang! Aaarrrggghhh! Hahaha sudah barang tentu, jika kau membuatnya
benar-benar emosi di tambah suasana hatinya yang sedang tak karuan. Bisa habis
kau di makinya. Peking telingamu. Wanita ceria. Ia selalu ceria seperti gadis
kecil walau usianya tak lagi hitungan kecil. Jika ada lelucon garing ia bisa saja tertawa. Entah apa
yang dianggapnya lucu. Wanita berperasa! Ah! Bukan pembawa perasaan. Tapi, ia
adalah wanita yang melakukan sesuatunya menggunakan hati dan perasaan juga
ketulusannya. Apapun. Makanya orangnya tak tega bila melihat yang menderita.
Ah sudahlah. Saat ini ia sedang ada di
hadapanku. Kami akan berbincang lama seperti apa yang tadi sudah ku ramal.
“Andara! Apa kabar?” sapa ku. “Raden… oohh kabar baik denganku”. Andara memang
begitu ceria. “mari duduk” aku menawarkan kursi untuk duduk kepada Andara. Kami
berbincang dan berbincang terus berbincang. Hingga tak ada kata penutup jika
tak diingatkan oleh suatu hal. Waktu saja sampai tak akan mempan jika memberi
alarm.
Tak disangka, kita sudah empat jam
dalam lautan kata. Sambung menyambung menjadi satu rentetan kalimat. Sampai
mulut berbusapun dia terus menyusun banyak kalimat. Tetapi, aku senang. Aku
rindu dengan kata-katanya yang sederhana namun berkelas. Oh iya, dia adalah
seorang cerpenis muda, bisa dibilang juga ia adalah seorang sastrawan muda.
Oh iya! Ada hal yang ku lupai dari
dia. Dia adalah perempuan lupa waktu. Jika sudah asik dengan sesuatunya, ia tak
akan pernah berhenti, meski waktu mengingatkannya tapi ia tak bisa, harus butuh
hal lain untuk mengingatkannya.
Kau tahu? Saat kami masih satu
sekolah, pernah ia asik membaca buku novel yang tebalnya hampir lima ratus
halaman, ia terus membaca hingga bel pulang berbunyi. Jika bukan temannya yang
mengajak ia pulang mungkin ia tak akan berhenti sampai tiba di halaman terakhir
buku itu. Dan itu entah kapan?.
Tak hanya itu, pernah ku perhatikan
ia, saat dia hanya diam dan melamun tak ada yang mengganggunya. Seperti yang
seru, entah apa yang ada di lamunannya itu. Biasanya orang melamun tak akan
lebih dari lima menitan, dan dia patut diberi rekor muri, hampir setengah jam
dia diam, melamun, dan hanya menggerakkan gerakan kecil saja. Dan ketika ku
tanya, jawabannya sederhana. Hanya bilang “karena aku sudah biasa dan itu
nyaman untuk membuka pikiranku lagi”. Ia juga bercerita, saat akan pergi ke
sekolah ia menumpang angkot, kemudian melewati pasar dan saat itu ia tiba-tiba
saja melamun dan ia masuk ke dalam lamunan itu, dia bilang seperti yang
dihipnotis. Lalu, ia sadar saat ada penumpang lain masuk. Untungnya dia tidak
terhipnotis. Andara.. Andara..
Tak cukup dua bukti? Masih ada lagi
bukti yang lain. Pernah suatu hari, saat pelajaran olahraga, mungkin
orang-orang berkata olahraga bebas. Maka, ia dan dua teman lainnya pergi ikut
melatih adik kelasnya tanpa izin. Entah mereka memang sedang serius, entah
malas ke kelas dan lupa akan waktu. Setelah hampir empat puluh lima menit,
mereka kembali dan kau tahu? Mereka mendapat hukuman. Saat ku tanya pada Andara
“darimana saja lama sekali?”. Ia menjawab “biasa kebablasan”. Hmmmm.
Andara memang anak yang asik, kau akan
tertular sindrom lupa waktunya jika sudah berbincang dengannya, meskipun ia
lebih banyak mendengarkan, tapi justru cara menyimaknya yang membangkitkan
orang untuk terus mengutarakan segalanya.
Aku senang saat dia bertanya padaku,
dan aku juga senang jika tertular sindromnya. Sepertinya dia wanita langka.
Hahahaha. Andara pernah bercerita padaku, bahwa ia sering dikatai “sang pelupa waktu” oleh ayahnya. Dan
ternyata sudah ku sadari sebelumnya.
Empat jam yang penuh dengan kata ini,
kita menceritakan banyak hal. Tentang dia yang cedera akibat main futsal,
tentang pertandingan basket yang ku lalui, pertemuan dengan teman dalam rival.
Tentang kakak kelasnya, tentang teman-teman sekelasnya, tentang perkemahan yang
akan dia ikuti diwaktu mendatang, tentang praktek kerja lapanganku, tentang
kesibukan masing-masing dan masih banyak lagi.
“Andara?” “hmm iya?” jawabnya. “apa
kau tidak ada urusan lain? Bukannya kau bilang sedang sibuk ya?” tanyaku
memastikan. Ia memang berkata padaku bahwa jadwalnya padat. “hah? Oh iya aku
lupa! Untung saja kau mengingatkan, coba kalau tidak, apa jadinya? Ya sudah aku
cabut dulu ya.. daaahh sampai jumpa
lagi” Katanya sambil beranjak dengan sedikit terburu-buru.
“Andara! Gantungan kuncimu!” aku
sedikit berteriak. Ia menoleh kepadaku dan berkata, “simpan saja, itu untukmu”
dengan Bahasa isyarat dan gerakan bibir tanpa suara.
Andara Dewi Athena.
Sang
Puan lupa waktu, namun tak akan pernah lupa dengan apa yang pernah terlahir
dalam waktu dan terus memerangi apa yang mengacaukannya.
Bandung, 24 April 2018
AnindaZu
Komentar
Posting Komentar